Gagal Panen, Petani Menggila? Kata-kata ini bisa jadi
lelucon yang tidak dapat diremehkan. Jika kita berada dalam posisi petani,
tentunya akan merasa kegilaan yang luar biasa akibat harapan-harapan yang siap
dituai hancur berantakan akibat salah satu makhluk hidup yang sering ditemui
sehari-hari. Tidak disangka hewan pengerat yang satu ini dapat menimbulkan
kerusakan sedemikian parah pada areal persawahan yang menjadi sumber penghidupan
banyak orang. Tikus sawah, salah satu hama yang sangat merisaukan para petani sebelum
panen terjadi.
Si Jero Ketut, sebutan tikus bagi orang Bali melakukan
perusakan areal persawahan saat tanaman sudah berbuah. Mereka memakan bulir
atau buah yang belum matang karena nalurinya sebagai makhluk hidup untuk terus tumbuh
dan berkembang. Kerusakan yang dapat dilihat adalah batang-batang yang
terpotong hingga membentuk sudut 450. Tidak heran jika hasil panen
akan anjlok mengingat hama yang menyerang seperti Jero Ketut yang satu ini.
Pertanyaannya adalah mengapa hanya karena Si Jero Ketut
ini bisa merusak areal persawahan? Jika dipikirkan baik-baik masih banyak hama
yang ada dipersawahan selain tikus. Kata kunci untuk menjawab pertanyaannya ini
adalah perkembangbiakan tikus sawah itu sendiri. Dalam satu musim tanam padi,
tikus sawah mampu berkembang biak hingga tiga kali dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran.
Tentu saja jumlah ini sangat banyak dan sulit menanganinya dengan predator
alami tikus itu sendiri
Seiring berkembangnya zaman, predator alami tikus kian
hari kian berkurang akibat ulah manusia sendiri. Perburuan ular sawah dan
jarangnya ditemui burung hantu disekitar areal persawahan mengakibatkan
tikus-tikus tersebut merajalela dengan leluasa. Melihat kemajuan teknologi
kimia saat ini, dengan menggunakan bahan-bahan pembasmi hama yang mudah
digunakan serta hemat dikantong petani, tentu saja petani menggunakan barang
tersebut. Hanya dengan sedikit pembasmi hama, tikus-tikus akan mati dan bencana
yang selalu menjadi bayang-bayang petani saat itu hanya menjadi ilusi semata.
Jika diteliti lebih dalam, kandungan pembasmi hama
ternyata larut dalam air dan diserap oleh tanaman di persawahan. Tentu saja
tanaman yang menyerap residu bahan kimia tersebut tidak baik bagi kesehatan jika
dikonsumsi terus menerus. Zat kimia tersebut tidak dapat diuraikan dalam tubuh
jika dikonsumsi oleh makhluk lain baik manusia ataupun hewan herbivora. Namun,
sebagian besar orang-orang tidak mempedulikan hal ini karena mereka menganggap
tidak ada pilihan lain jika ingin mendapatkan hasil panen yang melimpah tanpa
gangguan dari Si Jero Ketut satu ini.
Seruan-seruan untuk beralih ke pertanian organik sudah
mulai terdengar dan dilakukan oleh beberapa kalangan yang peduli akan pangan sehat
dan berkualitas tanpa kandungan bahan kimia yang membahayakan bagi kesehatan.
Di daerah Bali sendiri sebenarnya memiliki potensi untuk melakukan pertanian
organik seperti zaman dahulu mengingat rasa kekeluargaan antarawarga yang
terjalin kuat. Selain itu salah satu daerah di Bali memilki budaya unik yang
dapat menghalau ledakan jumlah tikus dengan sekali ritual. Namun, keajegan
budaya tersebut saat ini mulai terlupakan akibat perkembangan zaman yang kian
modern dan kurangnya perhatian dari anak muda untuk mempelajari budaya
tersebut. Budaya yang dilakukan dengan memuliakan tikus itu sendiri disebut
Tradisi Ngaben Bikul.
Tradisi Ngaben Bikul adalah salah satu contoh budaya yang
ada di daerah Tabanan, tepatnya di desa Bedha. Jika berwisata ke kabupaten Tabanan
tentu saja tempat yang akan dikunjungi adalah pantai Tanah Lot, Kebun Raya,
Bedugul dan Jatiluwih. Namun, jika kita selidiki lebih dalam lagi, desa Bedha
memiliki budaya unik dibidang pertanian selain daerah Jatiluwih dan letaknya
pun tak jauh dari pantai Tanah Lot yang tersohor dikalangan turis. Mengingat
keadaan bumi dan kebutuhan pangan yang berkualitas sangat mendesak saat ini,
perlu diterapkan kembali ritual Ngaben Bikul dari nenek moyang yang
berlandaskan keseimbangan alam. Seperti apakah Ngaben Bikul tersebut?
Upacara Mreteka Merana atau
yang dikenal dengan
Ngaben Bikul adalah upacara ngaben yang ditujukan untuk bikul (tikus) dengan
tujuan untuk menghilangkan hama tikus sekaligus pengaruh-pengaruh negatif di
areal persawahan (Martawan, 2008). Tikus-tikus diburu dengan berbagai cara
seperti mengasapi lubang persembunyiannya, mengejar ramai-ramai, membabat
semak-semak, melempari dengan batu, menembaki dengan ketapel. Pelaksanaan Ngaben bikul menggunakan bade sebagai salah satu tanda penghormatan
terakhir bagi tikus. Setelah upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan
upacara nganyut (membuang abu) ke
laut (Wiratha, 2010). Upacara ini biasa dilaksanakan pada saat
munculnya rasi bintang tikus sekitar bulan Agustus sampai Oktober.
Tradisi Ngaben bikul sudah ada pada zaman kerajaan di wilayah Bali. Menurut kepercayaan orang Bali, tikus
yang menyerang tanaman padi di sawah atau isi lumbung di rumah tidak boleh
dicaci maki dengan kasar karena akan semakin merajalela. Menurut para ahli yang
melakukan percobaan pada tumbuhan yang sedang dalam masa pertumbuhan, tumbuhan
pertama setiap harinya diberikan pujian-pujian dan kasih sayang lewat kata-kata
sedangakan yang satunya dicaci maki setiap hari dengan perawatan yang sama
antara kedua tumbuhan. Hasil yang didapatkan adalah tumbuhan pertama tumbuh
dengan baik, sedangkan tumbuhan kedua tidak tumbuh sebaik tumbuhan pertama. Kejadian
ini sama saja dengan perlakuan kita terhadap tikus yang terus dicaci maki akan
terus merajalela, padahal tikus sama-sama mahluk hidup yang membutuhkan makanan
dan tempat tinggal untuk meneruskan kehidupannya. Filosofi lainnya adalah
semakin kita kasar terhadap mahluk hidup lainnya maka akan ada timbal balik
dari mahluk hidup tersebut untuk mengganggu kehidupan manusia.
Menurut Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal
adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari
nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Tradisi Mreteka Merana atau Ngaben
bikul mengandung nilai kearifan lokal yang menyangkut aspek-aspek penting
dalam kehidupan manusia. Pertama-tama dilihat dari aspek lingkungan mengingat sistim
pemberantasan hama saat ini kurang bersahabat dengan lingkungan saat ini. Tradisi ini secara tidak langsung membantu menjaga keseimbangan
ekosistem persawahan dan juga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya
untuk menanggulangi hama khususnya hama tikus yang sering menyerang areal
persawahan. Hal ini dilakukan mengingat jumlah pemangsa alami berkurang tiap
tahunnya sehingga manusia harus turun tangan dalam memberantas hama. Jika
dilihat kasatmata pembantaian tikus secara besar-besaran ini terlihat tidak
bermoral bagi tikus sendiri, tetapi tradisi ini hanya dilakukan sekali dalam
setahun sehingga tidak mengganggu kelangsungan kehidupan tikus.
Jika ditinjau dari aspek sosial tradisi Ngaben
bikul ini mempengaruhi
kehidupan sosial masyarakat. Hal ini ditunjukkan saat kegiatan perburuan secara
tidak langsung antarwarga saling berinteraksi satu sama lain. Tradisi ini
sering mengikutsertakan anak-anak dengan mengajak mereka
berpartisipasi dalam upacara ini. Para orang tua mengharapkan agar kelak
anaknya dapat menjaga tradisi yang masih berbasis dalam pelestarian alam. Dilihat
dari aspek ekonomi, pelaksanaan tradisi ini dapat meningkatkan hasil
saat panen dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bekerja sebagai
petani. Nilai tambah dari tradisi ini adalah jika dikembangkan dan dikelola
dengan baik oleh krama banjar setempat atau perangkat desa setempat dapat
menarik minat para wisatawan mancanegara pada khususnya untuk berkunjung dan
melihat secara langsung upacara ini. Adanya terobosan kearah pengembangan
wisata diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang bukan dari golongan petani.
Itulah beberapa keuntungan
yang bisa didapatkan oleh masyarakat setempat jika tetap menjalankan tradisi
tersebut. Lalu, apakah keuntungan yang didapatkan oleh kita sebagai orang Bali
khususnya generasi muda yang bergerak dibidang teknologi pertanian?
Pertanyaannya ini sudah sewajarnya dilontarkan mengingat Bali harus maju tidak
hanya dibidang pariwisatanya. Salah satu keuntungan yang kita dapatkan adalah
hasil pertanian yang berkualitas. Kualitas disini berarti dari segi organoleptik
dan kandungan gizinya terjaga dengan baik dan sesuai dengan harapan konsumen.
Jika hasil pertanian berkualitas, tentu saja akan dicari banyak orang karena
gaya hidup sekarang menuntut untuk mendapatkan pangan yang berkualitas.
Dibandingkan dengan kuantitas memang sedikit lebih sedikit dibandingkan dengan
hasil pertanian nonorganik, namun dapat diakali dengan pengolahan lahan yang
tepat dimulai dari pembasmian hama itu sendiri yang menjadi momok permasalahan
dalam keberhasilan panen, walaupun perubahan cuaca juga mempengaruhi hasil
panen.
Hasil pertanian yang
berkualitas tinggi dapat diolah oleh orang-orang ahli sehingga nilai jualnya
tinggi. Selain itu mereka dapat mempekerjakan masyarakat setempat dan secara
tidak langsung membantu perekonomian mereka yang tinggal di desa. Kita ketahui bahwa
para petani-petani Indonesia tidak seperti petani Negara maju yang kaya dengan
hanya bertani. Walaupun hasil pertanian melimpah, belum tentu petani menikmati
hasilnya, maka demikian diperlukan orang-orang berkompeten untuk mengasah
“batu-batu Kristal” ini menjadi sesuatu yang bernilai lebih. Hasil pertanian
berkualitas merupakan cikal bakal dari produk pangan yang berkualitas juga.
Jadi jangan remehkan penanganan pertama pada areal persawahan jika ingin
mendapatkan hasil pertanian berkulitas tinggi.
Provinsi Bali memang
terkenal dibidang pariwisata, namun seiring berjalannya waktu keindahan alam
yang dijadikan objek wisata mulai mengalami “kecacatan” akibat eksploitasi
besar-besaran tanpa berpegang teguh pada aturan yang telah dibuat. Sudah
saatnya untuk mencari solusi lain dalam meeksiskan Bali sebagai ikon pariwisata
di Indonesia. Solusi yang dapat diambil adalah pengembangan budaya agraris yang
masih belum tergali dengan baik malah mulai menghilang akibat terlenanya akan
kehidupan yang nyaman dan instan. Keuntungan dari pengembangan budaya agraris
sangat menjanjikan kedepannya. Salah satu budaya yang dapat dikembangkan adalah tradisi Ngaben Bikul di desa Bedha, Tabanan. Jika
ingin mempertahankan Tabanan sebagai “Lumbung Padi Bali” sudah saatnya agent of change harapan Bali berpartisipasi dalam menjaga keeksistensian dari upacara Ngaben Bikul ini dengan mempelajari dan
menelitinya mulai dari sekarang.