Selasa, 21 Juli 2015

Kebudayaan Unik Bali, "Ngaben Bikul" Upaya Untuk Menjaga Keseimbangan Areal Persawahan dalam Balutan Ritual Agama



Gagal Panen, Petani Menggila? Kata-kata ini bisa jadi lelucon yang tidak dapat diremehkan. Jika kita berada dalam posisi petani, tentunya akan merasa kegilaan yang luar biasa akibat harapan-harapan yang siap dituai hancur berantakan akibat salah satu makhluk hidup yang sering ditemui sehari-hari. Tidak disangka hewan pengerat yang satu ini dapat menimbulkan kerusakan sedemikian parah pada areal persawahan yang menjadi sumber penghidupan banyak orang. Tikus sawah, salah satu hama yang sangat merisaukan para petani sebelum panen terjadi.
Si Jero Ketut, sebutan tikus bagi orang Bali melakukan perusakan areal persawahan saat tanaman sudah berbuah. Mereka memakan bulir atau buah yang belum matang karena nalurinya sebagai makhluk hidup untuk terus tumbuh dan berkembang. Kerusakan yang dapat dilihat adalah batang-batang yang terpotong hingga membentuk sudut 450. Tidak heran jika hasil panen akan anjlok mengingat hama yang menyerang seperti Jero Ketut yang satu ini.
Pertanyaannya adalah mengapa hanya karena Si Jero Ketut ini bisa merusak areal persawahan? Jika dipikirkan baik-baik masih banyak hama yang ada dipersawahan selain tikus. Kata kunci untuk menjawab pertanyaannya ini adalah perkembangbiakan tikus sawah itu sendiri. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu berkembang biak hingga tiga kali  dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tentu saja jumlah ini sangat banyak dan sulit menanganinya dengan predator alami tikus itu sendiri
Seiring berkembangnya zaman, predator alami tikus kian hari kian berkurang akibat ulah manusia sendiri. Perburuan ular sawah dan jarangnya ditemui burung hantu disekitar areal persawahan mengakibatkan tikus-tikus tersebut merajalela dengan leluasa. Melihat kemajuan teknologi kimia saat ini, dengan menggunakan bahan-bahan pembasmi hama yang mudah digunakan serta hemat dikantong petani, tentu saja petani menggunakan barang tersebut. Hanya dengan sedikit pembasmi hama, tikus-tikus akan mati dan bencana yang selalu menjadi bayang-bayang petani saat itu hanya menjadi ilusi semata.
Jika diteliti lebih dalam, kandungan pembasmi hama ternyata larut dalam air dan diserap oleh tanaman di persawahan. Tentu saja tanaman yang menyerap residu bahan kimia tersebut tidak baik bagi kesehatan jika dikonsumsi terus menerus. Zat kimia tersebut tidak dapat diuraikan dalam tubuh jika dikonsumsi oleh makhluk lain baik manusia ataupun hewan herbivora. Namun, sebagian besar orang-orang tidak mempedulikan hal ini karena mereka menganggap tidak ada pilihan lain jika ingin mendapatkan hasil panen yang melimpah tanpa gangguan dari Si Jero Ketut satu ini.
Seruan-seruan untuk beralih ke pertanian organik sudah mulai terdengar dan dilakukan oleh beberapa kalangan yang peduli akan pangan sehat dan berkualitas tanpa kandungan bahan kimia yang membahayakan bagi kesehatan. Di daerah Bali sendiri sebenarnya memiliki potensi untuk melakukan pertanian organik seperti zaman dahulu mengingat rasa kekeluargaan antarawarga yang terjalin kuat. Selain itu salah satu daerah di Bali memilki budaya unik yang dapat menghalau ledakan jumlah tikus dengan sekali ritual. Namun, keajegan budaya tersebut saat ini mulai terlupakan akibat perkembangan zaman yang kian modern dan kurangnya perhatian dari anak muda untuk mempelajari budaya tersebut. Budaya yang dilakukan dengan memuliakan tikus itu sendiri disebut Tradisi Ngaben Bikul.
Tradisi Ngaben Bikul adalah salah satu contoh budaya yang ada di daerah Tabanan, tepatnya di desa Bedha. Jika berwisata ke kabupaten Tabanan tentu saja tempat yang akan dikunjungi adalah pantai Tanah Lot, Kebun Raya, Bedugul dan Jatiluwih. Namun, jika kita selidiki lebih dalam lagi, desa Bedha memiliki budaya unik dibidang pertanian selain daerah Jatiluwih dan letaknya pun tak jauh dari pantai Tanah Lot yang tersohor dikalangan turis. Mengingat keadaan bumi dan kebutuhan pangan yang berkualitas sangat mendesak saat ini, perlu diterapkan kembali ritual Ngaben Bikul dari nenek moyang yang berlandaskan keseimbangan alam. Seperti apakah Ngaben Bikul tersebut?
Upacara Mreteka Merana atau yang dikenal dengan Ngaben Bikul adalah upacara ngaben yang ditujukan untuk bikul (tikus) dengan tujuan untuk menghilangkan hama tikus sekaligus pengaruh-pengaruh negatif di areal persawahan (Martawan, 2008). Tikus-tikus diburu dengan berbagai cara seperti mengasapi lubang persembunyiannya, mengejar ramai-ramai, membabat semak-semak, melempari dengan batu, menembaki dengan ketapel. Pelaksanaan Ngaben bikul menggunakan bade sebagai salah  satu tanda penghormatan terakhir bagi tikus. Setelah upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara nganyut (membuang abu) ke laut (Wiratha, 2010). Upacara ini biasa dilaksanakan pada saat munculnya rasi bintang tikus sekitar bulan Agustus sampai Oktober.
Tradisi Ngaben bikul sudah ada pada zaman kerajaan di wilayah Bali. Menurut kepercayaan orang Bali, tikus yang menyerang tanaman padi di sawah atau isi lumbung di rumah tidak boleh dicaci maki dengan kasar karena akan semakin merajalela. Menurut para ahli yang melakukan percobaan pada tumbuhan yang sedang dalam masa pertumbuhan, tumbuhan pertama setiap harinya diberikan pujian-pujian dan kasih sayang lewat kata-kata sedangakan yang satunya dicaci maki setiap hari dengan perawatan yang sama antara kedua tumbuhan. Hasil yang didapatkan adalah tumbuhan pertama tumbuh dengan baik, sedangkan tumbuhan kedua tidak tumbuh sebaik tumbuhan pertama. Kejadian ini sama saja dengan perlakuan kita terhadap tikus yang terus dicaci maki akan terus merajalela, padahal tikus sama-sama mahluk hidup yang membutuhkan makanan dan tempat tinggal untuk meneruskan kehidupannya. Filosofi lainnya adalah semakin kita kasar terhadap mahluk hidup lainnya maka akan ada timbal balik dari mahluk hidup tersebut untuk mengganggu kehidupan manusia.
Menurut Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Tradisi Mreteka Merana atau Ngaben bikul mengandung nilai kearifan lokal yang menyangkut aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Pertama-tama dilihat dari aspek lingkungan mengingat sistim pemberantasan hama saat ini kurang bersahabat dengan lingkungan saat ini. Tradisi ini secara tidak langsung membantu menjaga keseimbangan ekosistem persawahan dan juga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya untuk menanggulangi hama khususnya hama tikus yang sering menyerang areal persawahan. Hal ini dilakukan mengingat jumlah pemangsa alami berkurang tiap tahunnya sehingga manusia harus turun tangan dalam memberantas hama. Jika dilihat kasatmata pembantaian tikus secara besar-besaran ini terlihat tidak bermoral bagi tikus sendiri, tetapi tradisi ini hanya dilakukan sekali dalam setahun sehingga tidak mengganggu kelangsungan kehidupan tikus.
Jika ditinjau dari aspek sosial tradisi Ngaben bikul ini mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Hal ini ditunjukkan saat kegiatan perburuan secara tidak langsung antarwarga saling berinteraksi satu sama lain. Tradisi ini sering mengikutsertakan anak-anak dengan mengajak mereka berpartisipasi dalam upacara ini. Para orang tua mengharapkan agar kelak anaknya dapat menjaga tradisi yang masih berbasis dalam pelestarian alam. Dilihat dari aspek ekonomi, pelaksanaan tradisi ini dapat meningkatkan hasil saat panen dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bekerja sebagai petani. Nilai tambah dari tradisi ini adalah jika dikembangkan dan dikelola dengan baik oleh krama banjar setempat atau perangkat desa setempat dapat menarik minat para wisatawan mancanegara pada khususnya untuk berkunjung dan melihat secara langsung upacara ini. Adanya terobosan kearah pengembangan wisata  diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang bukan dari golongan petani.
Itulah beberapa keuntungan yang bisa didapatkan oleh masyarakat setempat jika tetap menjalankan tradisi tersebut. Lalu, apakah keuntungan yang didapatkan oleh kita sebagai orang Bali khususnya generasi muda yang bergerak dibidang teknologi pertanian? Pertanyaannya ini sudah sewajarnya dilontarkan mengingat Bali harus maju tidak hanya dibidang pariwisatanya. Salah satu keuntungan yang kita dapatkan adalah hasil pertanian yang berkualitas. Kualitas disini berarti dari segi organoleptik dan kandungan gizinya terjaga dengan baik dan sesuai dengan harapan konsumen. Jika hasil pertanian berkualitas, tentu saja akan dicari banyak orang karena gaya hidup sekarang menuntut untuk mendapatkan pangan yang berkualitas. Dibandingkan dengan kuantitas memang sedikit lebih sedikit dibandingkan dengan hasil pertanian nonorganik, namun dapat diakali dengan pengolahan lahan yang tepat dimulai dari pembasmian hama itu sendiri yang menjadi momok permasalahan dalam keberhasilan panen, walaupun perubahan cuaca juga mempengaruhi hasil panen.
Hasil pertanian yang berkualitas tinggi dapat diolah oleh orang-orang ahli sehingga nilai jualnya tinggi. Selain itu mereka dapat mempekerjakan masyarakat setempat dan secara tidak langsung membantu perekonomian mereka yang tinggal di desa. Kita ketahui bahwa para petani-petani Indonesia tidak seperti petani Negara maju yang kaya dengan hanya bertani. Walaupun hasil pertanian melimpah, belum tentu petani menikmati hasilnya, maka demikian diperlukan orang-orang berkompeten untuk mengasah “batu-batu Kristal” ini menjadi sesuatu yang bernilai lebih. Hasil pertanian berkualitas merupakan cikal bakal dari produk pangan yang berkualitas juga. Jadi jangan remehkan penanganan pertama pada areal persawahan jika ingin mendapatkan hasil pertanian berkulitas tinggi.
Provinsi Bali memang terkenal dibidang pariwisata, namun seiring berjalannya waktu keindahan alam yang dijadikan objek wisata mulai mengalami “kecacatan” akibat eksploitasi besar-besaran tanpa berpegang teguh pada aturan yang telah dibuat. Sudah saatnya untuk mencari solusi lain dalam meeksiskan Bali sebagai ikon pariwisata di Indonesia. Solusi yang dapat diambil adalah pengembangan budaya agraris yang masih belum tergali dengan baik malah mulai menghilang akibat terlenanya akan kehidupan yang nyaman dan instan. Keuntungan dari pengembangan budaya agraris sangat menjanjikan kedepannya. Salah satu budaya yang dapat dikembangkan adalah tradisi Ngaben Bikul di desa Bedha, Tabanan. Jika ingin mempertahankan Tabanan sebagai “Lumbung Padi Bali” sudah saatnya agent of change harapan Bali berpartisipasi dalam menjaga keeksistensian dari upacara Ngaben Bikul ini dengan mempelajari dan menelitinya mulai dari sekarang.